BERGAMO – Panggung Liga Champions selalu menuntut kesempurnaan, namun bagi Chelsea FC, kunjungan ke Stadion Atleti Azzurri d’Italia, markas Atalanta, pada Rabu malam (10/12/2025), berubah menjadi episode frustrasi yang berulang. Kalah 1-2 setelah sempat unggul, The Blues di bawah asuhan Enzo Maresca sekali lagi menunjukkan inkonsistensi yang mengkhawatirkan. Laga ini bukan sekadar kekalahan, melainkan sebuah cerminan nyata dari apa yang disebut oleh legenda klub, Joe Cole, sebagai rapuhnya mentalitas tim.
Sejak peluit kick-off dibunyikan, intensitas pertandingan terasa membara. Chelsea, mengenakan jersey tandang, menunjukkan pressing tinggi yang menjanjikan, mencoba mendikte tempo permainan melawan tim Atalanta yang terkenal militan di kandang. Keunggulan Chelsea di babak pertama adalah hasil dari momentum positif yang berhasil mereka ciptakan.
⚽ Awal Sempurna yang Menipu
Gol pembuka Chelsea, yang dicetak oleh Joao Pedro, adalah sebuah masterclass serangan balik cepat dengan penyelesaian klinis. Menerima umpan tarik cerdas dari Reece James – yang perannya sebagai bek sayap menyerang semakin krusial dalam skema Maresca – Pedro dengan dingin menaklukkan kiper Atalanta. Gol ini seharusnya menjadi fondasi kokoh untuk meredam keganasan La Dea.
Namun, sepak bola, terutama di level Liga Champions, menuntut fokus selama 90 menit penuh. Keunggulan 0-1 di paruh waktu sering kali menjadi scoreline paling berbahaya. Dan terbukti, jeda turun minum seolah menghilangkan konsentrasi yang telah susah payah dibangun oleh tim tamu.

🌬️ Kebobolan “Gol Konyol” yang Menyakitkan
Analisis pasca-pertandingan berulang kali menyoroti bagaimana Chelsea “memberikan” kemenangan kepada Atalanta. Komentar Joe Cole di BBC menjadi headline utama: “Mereka kebobolan gol-gol konyol.” Frasa tersebut sangat tepat untuk menggambarkan proses dua gol balasan Atalanta.
1. Gol Udara yang Tidak Termaafkan (Menit Ke-55)
Gol penyama kedudukan yang dicetak oleh Gianluca Scamacca adalah sebuah anomali dalam konteks taktik modern. Dalam situasi bola udara biasa dari sisi sayap, lini belakang Chelsea gagal melakukan komunikasi dan marking yang memadai. Scamacca, seorang striker dengan fisik dan heading mumpuni, dibiarkan melompat tanpa gangguan berarti.
“Di level ini, Anda tidak boleh kalah dalam duel udara di kotak penalti sendiri seperti itu. Ini murni kurangnya agresi dan antisipasi, dua hal yang harusnya menjadi DNA setiap tim yang berkompetisi di Eropa,” ujar seorang analis taktik. Kegagalan mengamankan area vital ini menunjukkan kerapuhan mendasar dalam disiplin pertahanan tim.
2. Sihir Sudut Sempit Charles De Ketelaere (7 Menit Tersisa)
Jika gol pertama adalah blunder kolektif, gol penentu kemenangan oleh Charles De Ketelaere adalah kombinasi antara kecemerlangan individu dan defensive lapse yang fatal. De Ketelaere, menerima bola di sudut sempit kotak penalti, masih dikawal oleh dua pemain bertahan The Blues. Secara matematis, ia seharusnya tidak memiliki ruang tembak yang ideal.
Namun, De Ketelaere berhasil memutar badan dan melepaskan tembakan kuat ke tiang dekat. Penjaga gawang Chelsea, yang biasanya diandalkan, tidak mampu bereaksi cukup cepat. Pertanyaan besarnya adalah mengapa dua bek yang mengawalnya gagal menutup ruang gerak dan sudut tembak pemain Belgia tersebut. Ini bukan hanya tentang kemampuan individu De Ketelaere, tapi juga tentang kegagalan Chelsea dalam menerapkan prinsip dasar pertahanan: mengurangi opsi lawan.
🧠 Mentalitas: Benang Merah Kritis Maresca
Pernyataan Joe Cole bahwa “Chelsea belum kuat secara mental” adalah poin kunci yang paling disoroti.
“Ada performa luar biasa, lalu ada juga penampilan yang menurun drastis,” kata Cole. “Ada beberapa momen dalam pertandingan malam ini di mana mereka terlihat seperti tim sesungguhnya, lalu mereka kebobolan gol-gol konyol.”
Kekalahan ini bukan insiden terisolasi. Sepanjang musim, tim Maresca menunjukkan bahwa mereka mampu bersaing sengit melawan tim-tim besar—menunjukkan permainan menyerang yang rapi dan penguasaan bola superior—tetapi sering kali ambruk saat menghadapi tekanan balik, terutama di fase-fase krusial pertandingan.
Dalam sepak bola, mentalitas tim tercermin dari cara mereka bereaksi terhadap kesulitan. Setelah gol penyama kedudukan Atalanta, alih-alih merespons dengan kendali dan disiplin, Chelsea justru tampak panik dan kehilangan struktur. Intensitas permainan mereka menurun, dan pengambilan keputusan di lapangan menjadi tergesa-gesa. Ini adalah ciri khas tim yang belum matang secara psikologis.
Keputusan taktis Maresca juga patut dipertanyakan. Pergantian pemain di babak kedua gagal memberikan dampak yang dibutuhkan untuk menstabilkan pertahanan atau menambah daya gedor. Di saat Atalanta meningkatkan tempo dan tekanan fisik, Chelsea justru terlihat kehabisan ide dan energi.
Kekalahan di Bergamo ini menempatkan Chelsea dalam posisi yang sulit di grup Liga Champions mereka. Perjalanan mereka menuju fase gugur akan menjadi semakin terjal, memerlukan hasil positif yang sempurna di laga-laga berikutnya, sekaligus berharap pada hasil tim lain.
Kekalahan ini sekali lagi memunculkan keraguan terhadap proyek jangka panjang Maresca. Skuad Chelsea memiliki talenta muda melimpah, namun talenta saja tidak cukup untuk memenangkan Liga Champions. Yang dibutuhkan adalah ketahanan mental, konsistensi, dan kedewasaan untuk mengelola momen-momen sulit.
Untuk The Blues, perjalanan Liga Champions mereka kini berada di persimpangan jalan. Mereka harus segera menemukan solusi untuk masalah mentalitas dan defensive lapses yang terus menghantui. Jika tidak, “gol-gol konyol” akan terus menjadi narasi utama yang menghalangi mereka untuk kembali menjadi kekuatan dominan di Eropa. Sisa pertandingan di kompetisi ini bukan hanya tentang meraih poin, tetapi juga tentang membuktikan bahwa mereka benar-benar telah belajar dari tragedi di Bergamo ini. Hanya dengan menunjukkan kematangan mental yang diidamkan, Maresca dan anak asuhnya dapat membalikkan narasi negatif ini dan memenuhi potensi besar yang mereka miliki.
