Oktober 24, 2025

Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan temuan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke pabrik produsen air merek Aqua di Subang. Dedi Mulyadi mengaku kaget karena air yang digunakan untuk produksi ternyata diambil dari sumur bor, bukan dari mata air di permukaan Bumi seperti yang selama ini diyakini banyak orang. Kebingungan Dedi ini sejalan dengan persepsi banyak warga dan netizen yang terbiasa mendengar bahwa air mineral Aqua berasal dari “mata air pegunungan.”

Faktanya, industri air minum dalam kemasan (AMDK) memang banyak mengambil air dari bawah tanah sebagai bahan baku air mineral. Badan PBB yang fokus pada riset air tanah, IGRAC, menyatakan bahwa 70 hingga 85 persen AMDK yang diproduksi di Jerman, Kanada, Indonesia, dan Italia berasal dari air bawah tanah. Meskipun demikian, IGRAC juga menyebut penggunaan air untuk air botolan masih jauh lebih sedikit dibandingkan air yang digunakan untuk irigasi.

Regulasi AMDK di Indonesia dan Klasifikasi Sumber Air

Sistem produksi air botolan di Indonesia diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) dan regulasi Kementerian Perindustrian. Peraturan Menteri Perindustrian No. 26/2019 adalah aturan terbaru yang memuat kategori AMDK atau air botol di Indonesia, dengan definisi sebagai berikut:

  1. Air Mineral: Air minum dalam kemasan yang mengandung mineral tertentu tanpa penambahan mineral lain.
  2. Air Demineral: Air minum dalam kemasan yang diperoleh melalui proses pemurnian.
  3. Air Mineral Alami: Air minum yang diperoleh langsung dari sumber alami atau sumur dalam, dengan proses terkendali yang menghindari pencemaran.
  4. Air Minum Embun: Air minum yang diperoleh dari proses pengembunan uap air dari udara lembab.

Berdasarkan pencarian di situs web BSN, mayoritas AMDK di pasaran adalah “Air Mineral” (SNI 3553:2015), termasuk merek-merek besar seperti Aqua, Le Minerale, Ades, Pure Life, dan Oasis. Sementara itu, produk “Air Mineral Alami” dengan kode SNI yang sama hanya mencantumkan produk dari dua perusahaan: PT Gelmax Indonesia Sentosa dan PT Bali Agung Waters.

Di Amerika Serikat, Badan Pangan dan Obat-obatan AS (FDA) memiliki pengelompokan AMDK yang lebih detail berdasarkan sumbernya, terkait dengan label seperti “spring water” (air dari mata air). Kategori yang diakui FDA, semua berasal dari sumur, meliputi:

  1. Air dari sumur artesis: Berasal dari sumur yang bersumber dari akuifer kedap, air mengalir sendiri ke atas.
  2. Air mineral: Berasal dari sumber bawah tanah dengan kandungan mineral minimal 250 ppm.
  3. Air dari mata air (spring water): Air mengalir sendiri ke permukaan, bisa diambil langsung atau melalui lubang ke sumber bawah tanah.
  4. Air sumur: Air diambil menggunakan sumur atau lubang, dipompa ke permukaan.
    FDA menggolongkan air botolan jenis lain seperti sparkling water dan tonic water sebagai “minuman ringan.”

Reaksi Publik dan Tuntutan Transparansi

Kehebohan tentang sumber air Aqua berawal dari video Dedi Mulyadi di akun YouTube @KANGDEDIMULYADICHANNEL. Dalam video tersebut, Dedi tampak terkejut ketika seorang pekerja pabrik menjelaskan bahwa air diambil dari bawah tanah melalui sumur bor, bukan dari air permukaan atau mata air.

Temuan Dedi Mulyadi ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Anggota Komisi VI DPR RI Kawendra Lukistian menilai isu ini serius karena menyangkut kepercayaan publik dan hak konsumen atas informasi yang jujur. Ia meminta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) untuk menindaklanjuti temuan ini dan merekomendasikan tindakan tegas jika terbukti ada pelanggaran.

Klarifikasi Manajemen Danone Aqua

Menanggapi polemik ini, Danone Aqua memberikan klarifikasi. Arif Mujahidin, Corporate Communication Director Danone Aqua, menjelaskan bahwa sumber air yang digunakan pabrik Aqua di Subang memang berasal dari akuifer atau lapisan air tanah di kawasan pegunungan, bukan air permukaan biasa. Pengambilan air menggunakan pipa untuk menjaga kemurnian dan menghindari potensi cemaran.

Danone Aqua juga menegaskan komitmennya terhadap kualitas dan kemurnian air. Mereka mengklaim menggunakan 19 sumber air pegunungan yang dipilih melalui proses seleksi ketat dan penelitian minimal 1 tahun. Air diambil dari akuifer dalam (60-140 meter) yang terlindungi secara alami, sehingga bebas kontaminasi aktivitas manusia dan tidak mengganggu air yang digunakan masyarakat. Hal ini diperkuat oleh studi hidrogeologi dari UGM dan Unpad.

Perusahaan juga menyatakan kepatuhannya terhadap regulasi, memiliki dan memperbarui SIPA (Surat Izin Pengusahaan Air Tanah), serta membayar pajak air dan retribusi. Mereka juga berkomitmen terhadap keberlanjutan melalui program konservasi air, penanaman pohon, pembangunan sumur resapan, dan program WASH.

Pandangan WALHI dan Kekhawatiran Dampak Lingkungan

Namun, pihak Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) justru menilai polemik ini sebagai “drama.” Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Walhi, Dwi Saung, menyatakan bahwa pengambilan air dari dalam tanah menggunakan sumur bor bukanlah hal baru dan sudah lama terjadi, bahkan dengan izin dari pemerintah. Ia menuding adanya pembayaran pajak air tanah kepada pemda sebagai bagian dari proses ini.

Meskipun demikian, Walhi secara konsisten menolak privatisasi air dan pengambilan air tanah secara masif oleh perusahaan AMDK, karena kekhawatiran akan potensi dampak lingkungan seperti penurunan muka tanah, longsor, hingga krisis air bagi masyarakat sekitar. Dedi Mulyadi sendiri menyayangkan praktik penyedotan 2,8 juta liter air secara gratis setiap hari, sementara masyarakat di sekitar pabrik berpotensi kekurangan air bersih. Ia meminta peninjauan ulang izin pengambilan air tanah dan operasional perusahaan Aqua di wilayah tersebut.

Langkah BPKN

Menyikapi berbagai laporan dan pemberitaan, Ketua BPKN Mufti Mubarok menegaskan bahwa lembaganya akan memanggil manajemen dan Direktur Utama PT Tirta Investama untuk meminta klarifikasi resmi. BPKN juga akan mengirim tim investigasi langsung ke lokasi pabrik guna memverifikasi kebenaran informasi. Langkah ini diambil untuk memastikan hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Polemik ini menyoroti pentingnya transparansi produsen AMDK dalam menjelaskan sumber air mereka dan memastikan praktik berkelanjutan yang tidak merugikan masyarakat dan lingkungan.