
Munich, Jerman — Suasana di Bandara Munich, Jerman, kembali mencekam pada Sabtu (4/10) menyusul insiden drone tak dikenal yang memaksa penutupan operasional bandara. Ini adalah kali kedua dalam beberapa hari terakhir bandara tersebut lumpuh, mengganggu perjalanan lebih dari 6.500 penumpang. Insiden ini, bersamaan dengan penutupan serupa di bandara-bandara Denmark, Norwegia, dan Polandia, serta tudingan terhadap Rusia oleh Rumania dan Estonia, telah meningkatkan kekhawatiran serius tentang keamanan udara dan potensi eskalasi konflik di Eropa.
Dua Kali Lumpuh dalam Seminggu

Insiden terbaru di Bandara Munich terjadi pada Jumat malam, sekitar pukul 21.30 waktu setempat, ketika lalu lintas udara mulai dibatasi dan akhirnya dibatalkan. Juru bicara kepolisian mengkonfirmasi dua penampakan drone secara bersamaan sekitar pukul 23.00, terlihat di dekat landasan pacu utara dan selatan. Drone-drone tersebut segera menjauh sebelum dapat diidentifikasi, memicu chaos dan menyebabkan 23 penerbangan dialihkan serta 12 penerbangan menuju Munich dibatalkan. Pihak bandara bergegas menyediakan tempat tidur lipat, selimut, minuman, dan makanan ringan bagi ribuan penumpang yang terlantar di terminal.

Gangguan serupa sudah terjadi pada Kamis malam. Sekitar pukul 20.30, drone terlihat di area dekat bandara, termasuk di kota Freising dan Erding, lokasi lapangan terbang militer Jerman. Beberapa laporan bahkan menyebutkan drone terlihat terbang di atas fasilitas militer. Penampakan itu berlangsung hingga tengah malam, menyebabkan penutupan kedua landasan pacu dan pembatalan lebih dari 30 penerbangan, membuat hampir 3.000 penumpang terlantar. Meskipun helikopter polisi dikerahkan, jenis dan jumlah drone tetap tidak diketahui.

Menteri Dalam Negeri Jerman Alexander Dobrindt pada Jumat menyebut insiden pertama sebagai “peringatan” akan ancaman drone yang semakin canggih. “Persaingan antara ancaman drone dan pertahanan terhadap drone semakin sulit,” ujarnya kepada Bild. Insiden ini terjadi saat Jerman merayakan Hari Persatuan Jerman, sebuah hari libur nasional, dan di tengah persiapan Munich untuk Oktoberfest yang menarik ratusan ribu pengunjung.
Tuduhan terhadap Rusia dan Ejekan Putin
Serangkaian insiden drone di Eropa telah memicu kecurigaan bahwa Rusia berada di balik aksi tersebut, meskipun Moskow telah menepis tuduhan itu dengan tegas. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky memperingatkan bahwa serangan drone baru-baru ini menunjukkan keinginan Moskow untuk “meningkatkan” agresinya di luar Ukraina. Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen juga menegaskan bahwa hanya satu negara yang “menimbulkan ancaman bagi keamanan Eropa — dan itu adalah Rusia.”
Menanggapi tuduhan-tuduhan ini, Presiden Rusia Vladimir Putin justru mengejek negara-negara NATO yang siaga tinggi. Dalam pidatonya di Valdai International Discussion Club pada Kamis (2/10), Putin dengan sarkastis menyatakan tidak akan lagi mengirim drone ke negara-negara NATO. “Saya tidak akan melakukannya lagi, ke Prancis, Denmark, Kopenhagen, Lisbon, ke mana pun mereka bisa,” ledek Putin, seraya menuduh NATO “memicu ketegangan guna meningkatkan anggaran pertahanan” dan “mengobarkan perang” antara NATO dan Rusia.
Putin menegaskan bahwa Rusia saat ini tidak berniat untuk berperang dengan NATO dan meminta negara-negara NATO untuk “tidur yang nyenyak” serta “menyelesaikan masalah mereka sendiri.” Ejekan ini memperlihatkan ketegangan yang semakin meningkat di antara kedua belah pihak.
Swedia Bersiap untuk Skenario Terburuk
Di tengah ketegangan geopolitik yang memanas, masyarakat di beberapa negara Eropa mulai mengambil langkah-langkah kesiapsiagaan darurat. Di Swedia, misalnya, warga didorong untuk menimbun bahan makanan dan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan perang. Konflik di Eropa yang terasa semakin dekat telah memicu pemerintah untuk menggalakkan strategi “pertahanan total.”

Sirkka Petrykowska (71) dari Stockholm adalah salah satu warga yang serius menghadapi kemungkinan perang. Ia telah membeli kompor camping, belajar cara pengawetan makanan tradisional, dan menimbun persediaan di rumah pedesaannya. “Saya juga sudah menyiapkan selimut untuk kehangatan, membeli kompor gas untuk pemanas, dan menimbun persediaan di rumah pedesaan saya,” katanya.
Pemerintah Swedia melalui Pekan Kesiapsiagaan tahunan berupaya meningkatkan kesadaran publik sebagai bagian dari strategi “pertahanan total” yang dihidupkan kembali pada 2015 setelah aneksasi Krimea oleh Rusia. Strategi ini bertujuan untuk memobilisasi seluruh masyarakat — pemerintah, warga, dan dunia usaha — untuk bersama-sama melawan agresi bersenjata sambil menjaga fungsi-fungsi esensial tetap berjalan. Fokus utamanya adalah tanggung jawab individu, di mana warga diminta menyiapkan persediaan makanan yang cukup untuk hidup mandiri setidaknya tujuh hari tanpa bantuan luar saat krisis.
Badan Pangan Swedia merekomendasikan makanan yang tinggi lemak dan protein serta mudah disimpan, seperti pesto, daging atau ikan kering, selai, cokelat, kentang tumbuk, susu bubuk, dan biskuit. Martin Svennberg, seorang pengembang bisnis dari Stockholm, bahkan menimbun 100 kg tepung, puluhan kaleng makanan, dan makanan kering beku di ruang bawah tanahnya, cukup untuk bertahan tiga bulan. Bagi Svennberg, makanan bukan hanya kebutuhan fisik tetapi juga dukungan moral yang penting dalam situasi darurat.
Langkah Jerman Mengatasi Ancaman Drone
Menyikapi ancaman yang berkembang ini, Pemerintah Jerman diperkirakan akan menandatangani rencana perubahan undang-undang untuk mengizinkan tentara menembak jatuh drone jika diperlukan. Langkah ini menunjukkan keseriusan Jerman dalam menghadapi ancaman drone yang tak teridentifikasi, yang kini dianggap sebagai ancaman nyata terhadap infrastruktur penting dan keamanan nasional. Insiden di Munich menjadi peringatan keras bagi Eropa akan pentingnya memperkuat pertahanan terhadap teknologi drone yang semakin canggih dan mudah diakses.
Ketegangan di Eropa tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Dengan insiden drone yang terus berulang dan retorika keras dari kedua belah pihak, benua itu memasuki periode ketidakpastian yang menuntut kewaspadaan tinggi dan strategi pertahanan yang adaptif.