Oktober 7, 2025

Pada 5 Oktober 2025, bangsa Indonesia kembali merayakan hari kelahiran Tentara Nasional Indonesia (TNI). Memasuki usia 80 tahun, TNI yang dilansungkan di Monas, Jakarta dengan tema “TNI Prima TNI Rakyat Indonesia Maju”mendulang simpati publik yang tetap tinggi. Di saat banyak institusi negara mengalami erosi kepercayaan, TNI tetap mengisi posisi yang istimewa di hati rakyat, sebagai simbol kehormatan, disiplin, dan – tak kalah penting – benteng ketahanan nasional.

Sejarah panjang, pengalaman tugas dalam situasi perang maupun bencana, serta citra “relatif bersih” dari pelanggaran besar, membuat TNI dipandang sebagai salah satu lembaga paling tak tergoyahkan di dunia publik. Namun, selebrasi ulang tahun ke-80 ini bukan saja soal puja-puji melainkan juga momen refleksi kritis terhadap arah kelembagaan TNI ke depan.


Citra Kuat & Kepercayaan: Modal Sosial yang Tak Boleh Terluntur

Berdasarkan berbagai survei nasional, TNI konsisten mencatat tingkat kepercayaan publik yang tinggi—kadangkala menjadi institusi negara paling dipercaya rakyat. Di tengah guncangan politik, konflik kepentingan, dan kritik terhadap banyak lembaga sipil, citra ini menjadi modal sosial penting.

Ketika bencana melanda gempa, banjir, longsor TNI sering muncul sebagai “aktor pertama” yang tanggap, membantu evakuasi dan logistik. Ketika ketidakamanan lokal merebak, figur prajurit hadir sebagai simbol perlindungan. Kedisiplinan, kesiapsiagaan, serta solidaritas internal menjadikan TNI sebagai institusi yang dalam persepsi publik dekat namun tak tercemar terlalu jauh oleh politik sehari-hari.

Namun, kekuatan simbolik semata tidak cukup. Kepercayaan juga harus dirawat dengan konsistensi tindakan — terutama ketika dinamika politik dan kebijakan menguji batas peran TNI.


Ulang Tahun ke-80: Momentum Merayakan — sekaligus Menimbang Risiko

Sebagai panggung nasional, perayaan 5 Oktober ini memproyeksikan kekuatan militer, demonstra­- si alutsista, defile, dan parade. Namun, momentum seperti ini juga patut menjadi ajang introspeksi: sejauh mana peran TNI masih berada dalam koridor yang jelas, dan sejauh mana kekhawatiran terkait “overreach” mulai muncul—terutama di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Sejak awal 2025, sejumlah dinamika mencuat:

  • Presiden Prabowo baru-baru ini menganugerahi pangkat istimewa kepada 11 purnawirawan TNI sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi mereka.
  • Kritik terhadap revisi Undang-Undang TNI (UU TNI 2025) kian menguat, di mana isu pasal-pasal yang membuka ruang bagi TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil digunjingkan.
  • Dalam dunia bisnis negara, 45 purnawirawan TNI-Polri kini tercatat sebagai komisaris BUMN, memicu pertanyaan tentang profesionalisme dan keseimbangan sipil-militer.
  • Kasus seperti Ferry Irwandi menjadi ujian betapa supremasi sipil harus ditegakkan ketika TNI tercampur dalam ranah yang idealnya independen.
  • Gerakan protes sipil terhadap revisi UU TNI pernah memuncak pada aksi “gerebek rapat” di Hotel Fairmont Jakarta, mencermin­kan kerapuhan prosedur dan kemarahan publik terhadap aturan tertutup.

Semua itu menandai bahwa ulang tahun kali ini bukan hanya semarak perayaan, melainkan juga alarm bahwa batasan institusional sedang diuji.


Titik Kelam: Ketika Peran Militer Mulai “Meleset”

Benar bahwa perwira purnawirawan membawa disiplin, pengalaman jaringan, dan integritas — namun terlalu sering, langkah tersebut dipertanyakan: apakah hal itu menghambat kesempatan bagi profesional sipil yang lebih kompeten di bidang ekonomi, bisnis, dan administrasi publik?

Lebih jauh lagi:

  1. Dominasi birokratis dan loyalitas personal
    Ketika ex-militer merambah BUMN, kultur struktural militer—dengan rantai komando dan loyalitas pribadi—berpotensi mendesak logika pasar, inovasi, dan kultur organisasi modern.
  2. Kembalinya bayang-bayang dwifungsi dalam “wajah baru”
    Para kritikus menyebut revisi UU TNI sebagai potensi “dwifungsi gaya baru.” Pengaturan pasal 47 dan perluasan tugas non-pertahanan dinilai merentangkan telapak tangan militer ke ranah sipil.
  3. Erosi supremasi sipil dan lemahnya pengawasan
    Kontrol sipil atas TNI — melalui DPR, lembaga pengawas, atau kritik masyarakat — tampak semakin terkikis. DPR disebut kehilangan peran pengawasan ketika revisi UU TNI diproses secara tertutup dan terburu-buru.
  4. Risiko kegagalan akuntabilitas dalam ranah sipil
    Ketika perwira aktif menduduki jabatan sipil, pertanggungjawaban mereka terhadap otoritas sipil bisa kabur. Kasus-kasus Basarnas (kepala berasal dari militer) dan kontroversi manajemen BUMN menjadi contoh dilema ini.
  5. Re-militerisasi ruang sipil — dari kampus, media, hingga lembaga publik
    Ada sinyal bahwa militer mulai meresap ke lembaga pendidikan, hukum, hingga birokrasi sipil — sebuah tren yang berbahaya bagi demokrasi partisipatif.

Refleksi & Rekomendasi: Agar Kepercayaan Tak Menjadi Ilusi

Ulang tahun ke-80 ini akan berarti lebih dari semangat patriotik jika TNI mampu menunjukkan bahwa “kekuatan dekat rakyat” tidak berarti “kekuasaan tanpa batas”. Berikut beberapa langkah reflektif yang layak dipertimbangkan:

  • Perjelas fungsi utama TNI dan batasi tugas non-militer secara ketat
    Tugas-tugas seperti ketahanan pangan, pembangunan infrastruktur, atau bantuan sosial harus dikendalikan oleh lembaga sipil yang punya spesialisasi bukan sebagai pekerjaan tambahan formal TNI.
  • Kukuhkan mekanisme kontrol sipil yang efektif dan independen
    Dewan pengawas sipil, lembaga pengaduan publik, audit militer oleh lembaga sipil harus difungsikan secara benar, dengan transparansi penuh.
  • Reformasi meritokrasi dalam birokrasi negara
    Penempatan ASN harus tetap berdasarkan kompetensi bidang, bukan latar belakang militer. Bila militer ingin berkontribusi, itu lebih ideal melalui lembaga khusus, bukan menempati posisi kementerian atau BUMN tanpa mekanisme seleksi terbuka.
  • Dialog terbuka terhadap revisi UU TNI
    UU TNI yang disahkan harus diuji lewat mekanisme partisipatif bukan lewat cara tertutup atau secara dipaksakan. Gerakan protes sipil terhadap revisi menunjukkan ketidakpuasan masyarakat atas cara penyusunan yang “tertutup”.
  • Akuntabilitas dan penyelesaian kasus HAM
    Untuk mempertahankan kepercayaan publik, TNI harus menunjukkan komitmen pada penegakan hukum dan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan kontemporer.
  • Tetap menjaga batas yang jelas antara ranah sipil dan militer
    Di era demokrasi modern, “relasi harmonis” antara sipil dan militer dibutuhkan bukan dominasi satu terhadap yang lain.

Kesimpulan

Memasuki usia 80 tahun, TNI tetap punya tempat istimewa dalam narasi bangsa. Namun, ulang tahun ini bukan hanya saat merayakan bendera dan defile ia harus menjadi pengingat bahwa legitimasi institusi tak hanya dibangun lewat simbol kekuatan, melainkan dengan tata kelola yang dewasa, terbuka, dan tertaut pada prinsip demokrasi.

Jika TNI mendekati ranah sipil, harus ada batasan jelas agar supremasi sipil tetap dijaga. Bila purnawirawan diangkat ke BUMN, mekanisme merit dan keseimbangan profesional harus dijaga. Bila UU TNI direvisi, partisipasi publik jangan dibuat hiasan formal, melainkan fondasi demokrasi. Bila citra public TNI kuat, itu harus disertai tindakan nyata yang menjaga kepercayaan bukan menipisnya batas lembaga yang melampaui fungsi historisnya.

Di usia 80, TNI punya warisan besar namun tantangan yang lebih besar menunggu: transformasi dari simbol yang dihormati menjadi institusi yang matang dan proporsional dalam demokrasi modern.

Selamat ulang tahun, TNI. Semoga eksistensi dan peranmu terus dijaga agar tetap menjadi penjaga demokrasi, bukan dominatornya.