
Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza kembali memasuki babak kelam. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan, sedikitnya 123 orang tewas hanya dalam kurun waktu 24 jam terakhir akibat serangan udara dan darat Israel yang menghantam berbagai titik di Kota Gaza. Angka tersebut merupakan jumlah korban harian tertinggi dalam sepekan terakhir.
Serangan terbaru ini menambah daftar panjang korban jiwa dalam perang yang sudah berlangsung hampir dua tahun, di wilayah yang menjadi rumah bagi lebih dari dua juta warga Palestina. Situasi yang kian memburuk ini memicu gelombang kecaman dari komunitas internasional, meski hingga kini belum ada tanda-tanda penurunan eskalasi.
Di tengah gempuran militer yang kian masif, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial pada Selasa (12/8/2025). Dalam wawancaranya dengan stasiun televisi i24NEWS, Netanyahu mengisyaratkan dukungan terhadap pemindahan warga Gaza secara tidak langsung.
“Mereka tidak didorong keluar, mereka akan diizinkan keluar,” ujar Netanyahu. Ia juga menantang negara-negara yang mengaku peduli pada rakyat Palestina agar membuka pintu mereka. “Berhenti menceramahi kami, dan mulailah bertindak,” tambahnya.
Pernyataan tersebut memicu kemarahan berbagai pihak, terutama negara-negara Arab dan sejumlah pemimpin dunia. Banyak yang menilai rencana ini mengingatkan pada tragedi Nakba tahun 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina diusir dari tanah mereka saat perang berkobar dan berdirinya negara Israel. Luka sejarah itu kembali terasa di tengah penderitaan yang sedang berlangsung di Gaza.
Menurut kesaksian warga setempat, serangan terbaru Israel terjadi secara sporadis sepanjang malam, menghantam kawasan timur Kota Gaza, termasuk lingkungan padat penduduk seperti Zeitoun dan Shejaia. Bom udara dan tembakan tank menghancurkan puluhan rumah, meninggalkan puing-puing dan kabut asap di udara.
Rumah Sakit Al-Ahli melaporkan sedikitnya 12 orang tewas ketika sebuah rumah di Zeitoun menjadi sasaran serangan udara. Di Gaza selatan, tank-tank Israel dilaporkan menggempur wilayah timur Khan Younis, meratakan beberapa bangunan hunian.
Di pusat kota, situasi tak kalah tragis. Menurut tenaga medis Palestina, pasukan Israel menembaki warga sipil yang tengah mencari bantuan dalam dua insiden terpisah, menewaskan sembilan orang. Militer Israel sendiri tidak memberikan komentar terkait laporan tersebut.
Selain korban akibat serangan langsung, krisis kemanusiaan di Gaza semakin diperparah oleh kelaparan dan malnutrisi. Kementerian Kesehatan Gaza mengungkapkan bahwa delapan orang, termasuk tiga anak, meninggal dalam 24 jam terakhir akibat kekurangan gizi.
Dengan tambahan tersebut, jumlah anak yang meninggal di Gaza sejak awal perang mencapai 235 jiwa. Dari total itu, 106 anak meninggal pada fase awal konflik. Kondisi ini menegaskan bahwa perang tidak hanya menewaskan melalui senjata, tetapi juga melalui kelaparan yang mencekik perlahan.
Israel membantah data kelaparan yang dilaporkan otoritas kesehatan Gaza, yang dikelola Hamas. Namun, organisasi kemanusiaan internasional berulang kali memperingatkan bahwa blokade yang membatasi pasokan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar telah menciptakan situasi darurat kemanusiaan yang akut di wilayah tersebut.
Pernyataan Netanyahu yang menyiratkan dukungan pada eksodus warga Gaza semakin memicu gelombang kecaman. Para pemimpin Arab menilai langkah itu sebagai upaya pembersihan etnis terselubung. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa pemindahan paksa warga sipil melanggar hukum internasional.
Banyak analis menilai, rencana ini berpotensi memicu konflik yang lebih luas di kawasan Timur Tengah, mengingat sejarah panjang ketegangan Israel–Palestina yang belum pernah terselesaikan secara tuntas.
Di jalan-jalan Gaza, suara drone dan dentuman artileri menjadi latar kehidupan sehari-hari. Di tengah reruntuhan, keluarga-keluarga mencoba mencari anggota mereka yang hilang, sementara tenaga medis bekerja tanpa lelah di rumah sakit yang penuh sesak.
Warga Gaza kini menghadapi dilema: tetap bertahan di tanah kelahiran mereka meski risiko kematian tinggi, atau meninggalkan segalanya dan menjadi pengungsi, tanpa jaminan keamanan maupun masa depan yang jelas.