MILANO – Awan mendung yang menyelimuti San Siro sepanjang musim 2024/2025 tampaknya mulai tersingkap. Setelah mencatatkan rekor terburuk dalam satu dekade dengan finis di posisi kedelapan musim lalu, AC Milan kini bertransformasi menjadi kekuatan yang kembali disegani di kancah Serie A. Di bawah kepemimpinan taktis Massimiliano Allegri, I Rossoneri tidak hanya sekadar bermain, mereka kembali bertarung di jalur juara.
Namun, di tengah euforia kebangkitan ini, muncul dinamika menarik antara target realistis klub dan ambisi membara para pemainnya. Gelandang andalan asal Prancis, Adrien Rabiot, menjadi sosok yang paling vokal menyuarakan bahwa Milan tidak boleh hanya menjadi “pelengkap” di zona Liga Champions.
Revolusi Allegri: Pragmatisme yang Membuahkan Hasil
Kembalinya Massimiliano Allegri ke kursi kepelatihan—meskipun sempat memicu perdebatan di kalangan Milanisti karena gaya mainnya yang pragmatis—terbukti menjadi obat penawar yang tepat bagi rapuhnya pertahanan Milan musim lalu. Dalam 15 pertandingan pertama liga musim ini, Milan tampil sangat solid dengan hanya menelan satu kekalahan.
Dengan koleksi sembilan kemenangan, Milan kini bercokol di posisi kedua klasemen, hanya terpaut satu angka dari rival sekota mereka, Inter Milan. Stabilitas ini merupakan anomali jika dibandingkan dengan musim lalu yang penuh lubang di lini belakang. Allegri berhasil menyuntikkan mentalitas “menang tipis lebih baik daripada main indah tapi kalah,” sebuah filosofi yang perlahan mengembalikan Milan ke papan atas.
Meski demikian, Allegri tetaplah Allegri. Dalam setiap konferensi pers, pelatih kawakan itu selalu memasang wajah tenang dan meredam ekspektasi publik. Ia berkali-kali menegaskan bahwa target utama Milan musim ini hanyalah kembali ke Liga Champions dengan finis di empat besar. Bagi Allegri, mengamankan finansial klub lewat kompetisi Eropa adalah prioritas utama sebelum bicara soal trofi.
Suara Lantang Adrien Rabiot
Di ruang ganti, pesan Allegri mungkin dipatuhi, tetapi Adrien Rabiot memiliki api yang berbeda dalam dirinya. Mantan bintang Juventus dan Paris Saint-Germain tersebut membawa mentalitas juara yang ia asah di klub-klub sebelumnya. Baginya, bermain untuk klub sebesar AC Milan berarti harus selalu mengincar puncak tertinggi.

Dalam wawancara eksklusif dengan Sky Sports, Rabiot mengakui bahwa secara teknis dan kedalaman skuad, Milan mungkin masih sedikit di belakang beberapa rival yang sudah lebih matang secara struktur dalam beberapa tahun terakhir. Namun, ia menolak untuk membatasi potensi timnya.
Baca Juga:
Kejatuhan Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang dalam Cengkeraman KPK
“Mimpiku memenangi Scudetto? Tentu saja itu sulit. Kita bicara tentang kompetisi yang sangat panjang dan melelahkan, di mana tim-tim lain sudah memiliki pengalaman juara yang lebih konsisten baru-baru ini,” ujar pemain internasional Prancis tersebut.
Namun, Rabiot memberikan analogi yang menarik mengenai ambisinya. “Secara pribadi, saya menargetkan sesuatu yang lebih besar. Jika Anda tahu Anda memiliki kapasitas untuk meraih 10 poin, mengapa Anda harus puas hanya dengan enam atau tujuh poin? Hanya karena target klub adalah empat besar, bukan berarti kami harus berhenti bermimpi ketika peluang meraih gelar ada di depan mata.”
Menghindari Penyakit “Puas Diri”
Ketegasan Rabiot didasari pada pengalamannya di kompetisi level tinggi. Ia menyadari bahwa paruh pertama musim yang gemilang bisa sirna dalam sekejap jika tim kehilangan fokus. Milan saat ini memang kompetitif, tetapi liga baru berjalan kurang dari setengah musim.
“Apa yang sudah kami lakukan sejauh ini memang bagus, tapi saya tegaskan, itu belum cukup,” cetus Rabiot dengan nada serius. Ia menyoroti pentingnya menghindari membuang-buang angka melawan tim papan tengah dan bawah—sebuah penyakit lama Milan yang sering kambuh di musim-musim sebelumnya.
Kehadiran Rabiot di lini tengah bukan hanya soal teknis operan atau kekuatan fisik, melainkan soal kepemimpinan. Bersama pemain senior lainnya, ia mencoba memastikan bahwa skuad muda Milan tidak terlena dengan posisi kedua di klasemen saat ini. Bagi Rabiot, setiap pertandingan adalah final, dan setiap poin adalah langkah menuju Scudetto ke-20.
Ujian sesungguhnya bagi ambisi Rabiot dan taktik Allegri akan datang setelah jeda musim dingin. Jadwal yang padat, risiko cedera, dan tekanan dari Inter Milan serta Juventus yang mulai menguntit akan menjadi parameter sejauh mana Milan bisa bertahan.
Inter Milan saat ini memang masih menjadi favorit utama, namun konsistensi Milan dalam 15 laga terakhir telah mengubah persepsi para pengamat. Jika Allegri mampu mempertahankan organisasi pertahanan dan Rabiot terus menjadi motor penggerak di lini tengah, bukan tidak mungkin Il Diavolo Rosso akan merayakan gelar juara di akhir musim nanti.
Pada akhirnya, perbedaan visi antara Allegri yang rendah hati dan Rabiot yang ambisius justru menjadi kombinasi yang sehat. Allegri menjaga kaki para pemain tetap di bumi, sementara Rabiot memastikan mata mereka tetap menatap bintang. Di bawah langit San Siro yang kini mulai cerah, Milan sedang membangun jalan untuk kembali menjadi penguasa Italia.
