Ketegangan di kawasan Asia Tenggara kembali menjadi sorotan dunia setelah bentrokan bersenjata pecah di garis perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Menanggapi eskalasi yang mengkhawatirkan ini, Amerika Serikat (AS) melalui Menteri Luar Negeri Marco Rubio menyatakan harapannya agar kedua negara dapat segera menghentikan kontak senjata dan kembali mematuhi kesepakatan gencatan senjata paling lambat awal pekan depan.

Pernyataan ini muncul menyusul kegagalan komitmen tertulis yang sebelumnya telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Washington kini berada dalam posisi menekan secara diplomatik agar stabilitas di kawasan tersebut tidak runtuh lebih jauh, yang dapat mengancam keamanan regional ASEAN secara keseluruhan.

Optimisme di Tengah Desing Peluru

Dalam keterangannya kepada pers pada Jumat (19/12/2025), Marco Rubio menegaskan bahwa Gedung Putih tengah bekerja tanpa henti untuk menjembatani komunikasi antara Bangkok dan Phnom Penh. Rubio menargetkan bahwa titik terang dari perundingan ini akan terlihat pada Senin (22/12/2025) atau Selasa (23/12/2025) mendatang.

“Kami bekerja sangat keras untuk mendorong semua pihak kembali mematuhi kesepakatan awal. Kami cukup optimistis bahwa pada awal pekan depan, komitmen untuk menghormati gencatan senjata bisa kembali ditegakkan,” ujar Rubio sebagaimana dilaporkan oleh AFP.

Langkah diplomatik ini diambil setelah Rubio melakukan pembicaraan telepon intensif dengan Menteri Luar Negeri Thailand, Sihasak Phuangketkeow, pada Kamis malam. Meskipun kedua negara secara formal telah menandatangani kesepakatan damai di atas kertas, realita di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Masing-masing pihak saling melempar tuduhan mengenai siapa yang memulai provokasi pertama kali.

Akar Masalah: Warisan Kolonial dan Simbol Kedaulatan

Konflik antara Thailand dan Kamboja bukanlah fenomena baru. Perselisihan ini memiliki akar sejarah yang sangat dalam, bermula dari penetapan batas wilayah pada era kolonial yang dianggap tidak akurat oleh salah satu pihak. Inti dari sengketa ini adalah garis perbatasan sepanjang 800 kilometer yang membelah kedua negara.

Masalah menjadi sangat sensitif karena wilayah yang diperebutkan mencakup kompleks candi-candi kuno yang memiliki nilai sejarah dan spiritual tinggi. Salah satu titik paling panas adalah wilayah di sekitar Candi Preah Vihear dan beberapa situs arkeologi lainnya yang diklaim sebagai milik nasional oleh kedua negara. Bagi rakyat Thailand maupun Kamboja, kedaulatan atas wilayah ini bukan sekadar soal tanah, melainkan soal harga diri bangsa.

Pertaruhan Reputasi Diplomasi Donald Trump

Situasi ini juga membawa beban politik bagi Presiden AS, Donald Trump. Sebelumnya, Trump sempat mengeklaim bahwa diplomasi agresifnya telah berhasil mengakhiri perselisihan tersebut pada awal tahun ini. Dalam berbagai kesempatan kampanye dan pidato resminya, Trump memasukkan konflik Thailand-Kamboja ke dalam daftar “perang yang berhasil ia hentikan tanpa peluru”.

Namun, pecahnya kembali pertempuran pada bulan Desember ini yang memakan korban jiwa di kedua belah pihak seolah menampar klaim kesuksesan tersebut. Kegagalan gencatan senjata ini memaksa pemerintahan Trump untuk kembali turun tangan secara intensif sepanjang akhir pekan ini guna memastikan bahwa kesepakatan yang mereka fasilitasi tidak menjadi hiasan kertas belaka.

Tekanan Regional: Pertemuan Darurat ASEAN

Tidak hanya Amerika Serikat, negara-negara tetangga di Asia Tenggara pun mulai bergerak cepat. Para Menteri Luar Negeri ASEAN dijadwalkan akan menggelar pertemuan darurat pada Senin depan di Kuala Lumpur, Malaysia. Pertemuan ini bertujuan untuk mencari solusi kolektif dan mencegah konflik bilateral ini mengganggu integrasi ekonomi dan politik kawasan yang tengah dibangun.

ASEAN memiliki prinsip non-interference (tidak mencampuri urusan dalam negeri), namun dalam kasus konflik perbatasan antar-negara anggota, organisasi ini didorong untuk lebih aktif berperan sebagai mediator agar stabilitas keamanan tetap terjaga.

Menurut Rubio, tugas utama AS saat ini adalah mengurai keluhan-keluhan teknis dari kedua negara. “Komitmen itu saat ini tidak dijalankan karena masing-masing pihak mengeklaim memiliki keluhan sah terhadap pihak lain. Tugas kami sekarang adalah membawa mereka kembali duduk bersama dan membedah poin-poin yang dianggap dilanggar,” jelasnya.

Komunikasi maraton yang dilakukan Washington diharapkan dapat mendinginkan suasana sebelum pertemuan ASEAN di Kuala Lumpur dimulai. Jika kesepakatan tidak tercapai hingga hari Selasa depan, dikhawatirkan eskalasi militer akan semakin meluas dan melibatkan persenjataan berat yang lebih masif.

Kini, dunia menunggu apakah diplomasi “awal pekan” yang dijanjikan Rubio akan membuahkan hasil, ataukah wilayah perbatasan yang kaya akan nilai sejarah tersebut akan kembali bersimbah darah akibat ego kedaulatan yang tak kunjung menemui titik temu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *