
Jakarta – Kurang dari setahun masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sektor pertahanan nasional menunjukkan geliat modernisasi yang sangat progresif. Sebagai mantan Menteri Pertahanan sekaligus purnawirawan jenderal TNI, Prabowo membawa visi yang jelas untuk memperkuat kapabilitas militer Indonesia melalui serangkaian kontrak pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) strategis. Langkah ini bukan sekadar peningkatan daya tempur, melainkan juga fondasi bagi kemandirian industri pertahanan dalam negeri melalui skema alih teknologi dan produksi lokal.
Dari Jet Generasi Kelima hingga Kapal Selam Canggih

Salah satu terobosan paling ambisius adalah kerja sama pengadaan 48 unit jet tempur generasi kelima KAAN dari Turki, yang kontraknya ditandatangani pada Juli 2025. KAAN, yang digadang sebagai pesawat siluman (stealth) dengan kemampuan superioritas udara dan kecepatan Mach 1.8, akan dilengkapi sistem avionik dan radar canggih. Lebih dari itu, kontrak ini mencakup keterlibatan industri nasional dalam proses desain dan rekayasa, menjadikan Indonesia mitra strategis dalam pengembangan jet masa depan Turki.
Dari Eropa, kerja sama dengan Naval Group Prancis melahirkan proyek dua kapal selam Scorpène Evolved yang akan dibangun di PT PAL Indonesia, Surabaya. Kontrak miliaran dolar AS ini resmi berlaku sejak 23 Juli 2025, menandai alih teknologi penuh ke industri maritim domestik. Kapal selam Scorpène Evolved terkenal dengan kemampuan tempur bawah laut yang senyap, daya jelajah lebih dari 12.000 kilometer, dan sistem propulsi air-independent propulsion (AIP) yang memungkinkan operasi bawah laut lebih lama.
Indonesia juga memperkuat lini taktis udaranya dengan drone tempur TB3 dan Akıncı produksi Turki. Sekitar 60 unit drone TB3 dan 9 unit Akıncı akan memperkuat TNI AU dan TNI AL, dilengkapi kemampuan pengintaian, serangan presisi, dan operasi maritim dengan jangkauan ribuan kilometer. Kontrak ini juga mencakup pembangunan fasilitas produksi bersama (joint venture) dan lokalisasi teknologi di Indonesia.
Tak hanya itu, dua fregat I-class dari konsorsium STM–ASFAT (Turki) turut dikontrak, membawa teknologi kombatan modern dengan sistem senjata anti-udara, anti-kapal permukaan, dan anti-kapal selam. Penandatanganan kontrak ini dilakukan dalam rangkaian Indo Defence 2025 di Jakarta, menegaskan semakin terbukanya kerja sama pertahanan yang saling menguntungkan.
Menimbang Jet Tempur Chengdu J-10C dari China
Di sisi lain, Indonesia juga menunjukkan minat serius terhadap jet tempur Chengdu J-10C dari China. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin pada Rabu, 15 Oktober 2025, mengonfirmasi bahwa TNI AU akan mengakuisisi setidaknya 42 unit jet tempur J-10C. “Sebentar lagi (J-10C) terbang di Jakarta,” ujarnya, meskipun detail lebih lanjut masih dalam tahap finalisasi.

Sebelumnya, Kepala Biro Informasi Pertahanan (Infohan) Setjen Kemenhan, Brigjen TNI Frega Wenas Inkiriwang, menyebut bahwa rencana pembelian J-10C masih dalam pengkajian TNI AU untuk memastikan platform alutsista terbaik. Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan Taufanto juga menegaskan bahwa Indonesia terbuka untuk membeli J-10C selama memenuhi kebutuhan dan kriteria teknis TNI, apalagi jika harganya kompetitif.
Jet tempur multiperan J-10C versi terbaru semakin gencar dipromosikan China ke pasar internasional. Perancang utama J-10C, Wang, menjelaskan bahwa pesawat ini telah mengalami peningkatan signifikan, mampu membawa lebih dari 40 jenis persenjataan dan dilengkapi sistem radar Active Electronically Scanned Array (AESA) yang canggih. Fitur seperti desain badan pesawat dengan air intake berbentuk bump, canard di bagian depan, dan sistem perang elektronik canggih, menempatkan J-10C setara dengan F-16 buatan Amerika Serikat.
Pembelian J-10C ini akan menandai akuisisi pesawat non-Barat pertama bagi Indonesia setelah puluhan tahun bergantung pada pemasok Barat. Analis pertahanan Beni Sukadis dari Indonesia Institute for Defense and Strategic Studies mengingatkan bahwa langkah ini dapat memiliki implikasi geopolitik regional, terutama di tengah meningkatnya pengaruh militer China di Asia Tenggara dan isu Laut China Selatan.
Tahap Negosiasi dan Orientasi Jangka Panjang
Selain kontrak aktif, beberapa pengadaan masih dalam tahap finalisasi. Di antaranya, jet tempur F-15EX dari Boeing, Amerika Serikat, yang tinggal menunggu finalisasi Letter of Offer and Acceptance (LOA) dan skema pembiayaan. Helikopter S-70M Black Hawk (Lockheed Martin dan PTDI), howitzer CAESAR, serta kerja sama produksi amunisi 155mm dengan Nexter/KNDS Prancis juga masih dalam tahap nota kesepahaman dan Letter of Intent. Indonesia juga melanjutkan partisipasinya dalam proyek KF-21 Boramae bersama Korea Selatan, dengan penyesuaian kontribusi finansial.
Komisi I DPR menilai bahwa langkah pemerintah ini merupakan strategi jangka panjang untuk memperkuat pertahanan nasional dan kedaulatan negara. Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono menekankan bahwa investasi pada alutsista modern bukan semata belanja militer, tetapi bagian dari strategi menjaga kedaulatan, memperkuat diplomasi pertahanan, dan kesiapan menghadapi ancaman multidimensi. Ia juga menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, transfer teknologi, dan pelibatan industri pertahanan dalam negeri.
Pengamat militer Khairul Fahmi melihat arah pengadaan alutsista di era Prabowo-Gibran lebih sistematis dan berorientasi jangka panjang. “Pemerintah tidak hanya fokus pada kekuatan tempur yang siap pakai, tapi juga berorientasi jangka panjang dengan memperkuat basis industri pertahanan dalam negeri,” ungkap Fahmi. Ia merangkum pendekatan Prabowo dalam tiga prinsip: beli cerdas, bangun kemandirian, dan jaga efektivitas daya tempur. Tantangan ke depan adalah integrasi sistem senjata dari berbagai negara dan kesiapan teknis, pelatihan, serta logistik pemeliharaan jangka panjang. Diversifikasi alutsista ini, bila dikelola dengan baik, dapat menjadi kekuatan tersendiri bagi TNI.