
Jakarta, 23 Agustus 2025 — Gelombang kekhawatiran menggema di Kompleks Parlemen Senayan ketika Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia mendapatkan ultimatum serius dari Arab Saudi. Jika pembayaran uang muka untuk area Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) tidak segera dilakukan hari ini, lokasi yang krusial bagi ibadah haji itu bisa dialokasikan ke negara lain.d
Marwan menjelaskan pihaknya tengah menggeber pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) atas RUU Haji dan Umrah agar segera disahkan menjadi Undang-Undang. Langkah percepatan ini dinilai perlu karena proses haji sudah dimulai di Saudi, dan tenggat waktu pembayaran terus menipis.Menurutnya, Komisi VIII bersama pimpinan DPR optimistis, RUU bisa dibuka ke pengambilan keputusan tingkat II pada 26 Agustus—kurang dari tiga hari dari deklarasi ultimatum.
Sebagai respons atas ultimatum itu, Komisi VIII telah menyetujui penggunaan uang muka dari dana BPIH yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Rapat kerja khusus digelar Kamis (21/8) antara DPR, Kementerian Agama, Badan Penyelenggara Haji (BPH), dan BPKH mencapai kesepakatan: BPKH akan mentransfer uang muka sebelum keluarnya keputusan Presiden tentang besaran BPIH 2026.
Menteri Agama, Nasaruddin Umar, menambahkan bahwa dana ini nantinya akan dikurangi dari BPIH tahun depan—jadi bukan beban keuangan baru, namun transfer di muka untuk memastikan jemaah mendapatkan layanan haji optimal.
Berapa Jumlah yang Dibutuhkan?
Menurut keterbukaan informasi, komponen biaya terdiri dari dua bagian utama:
- Booking tenda Armuzna: sekitar SAR 785 per jemaah.
- Layanan Masyair (tenda, katering, kesehatan, transportasi selama puncak haji): sekitar SAR 2.300 per jemaah.
Dengan kuota reguler sekitar 203.320 jemaah, total kebutuhan dana diperkirakan mencapai SAR 627.242.200.
Kenapa Pembayaran Ini Penting?
- Zona strategis di Armuzna
Area Arafah, Muzdalifah, dan Mina merupakan pusat kegiatan spiritual haji. Mendapatkan zona strategis di lokasi ini berarti jemaah memperoleh tenda modern dengan akses yang relatif dekat, kenyamanan, dan keamanan selama menjalankan rukun haji. - Reputasi diplomatik Indonesia
Indonesia adalah pengirim jemaah haji terbesar di dunia. Keterlambatan pembayaran dapat menciptakan persepsi negatif diplomatik terhadap kredibilitas negara - Momentum percepatan legislasi
Revisi UU Haji dan Umrah menjadi sangat penting dipercepat karena kesesuaian regulasi menjadi basis hukum penyelenggaraan, termasuk mekanisme penggunaan dana BPKH.
Tanggapan dari Berbagai Pihak
- Komisi VIII DPR menegaskan bahwa penggunaan uang muka BPIH harus dilakukan sesuai aturan—akuntabel, transparan, dan sesuai prinsip syariah serta tata kelola negara
- Menag Nasaruddin Umar menyatakan bahwa langkah ini diambil demi kemaslahatan jemaah, memastikan tidak kehilangan lokasi strategis, serta menjaga citra diplomatik nasional
Ultimatum ini menjadi sinyal kuat bahwa diplomasi administratif haji tidak bisa diabaikan dan membutuhkan respons cepat. Bahkan sebagian kritik mengkhawatirkan regulasi benturan antara UU No. 8/2019 tentang Haji dan Umrah dan implementasi BPKH dengan Perpres No. 154/2024—untuk itu percepatan revisi undang-undang dianggap esensial.