Agustus 22, 2025

Jakarta — Kebijakan tunjangan rumah anggota DPR periode 2024–2029 sebesar Rp 50 juta per bulan langsung memicu kontroversi di media sosial. Banyak pihak mengecam besaran tunjangan yang dianggap terlalu tinggi—bahkan sejumlah netizen mencibirnya sebagai “bonus rumah gratis” atau “gaji kedua.” Namun, ternyata Indonesia bukan satu-satunya negara yang memberikan tunjangan seperti ini; Parlemen Selandia Baru juga menerapkan sistem serupa—meski dengan skala yang berbeda.

Tunjangan Rumah di Selandia Baru: Rp 28,5 Juta per Bulan

Mengutip Radio New Zealand, setiap anggota parlemen Selandia Baru bisa mengklaim NZD 36.000 per tahun atau sekitar Rp 342 juta, dengan asumsi nilai tukar NZD = Rp 9.510. Jika dirata-rata per bulan, tunjangan tersebut mencapai Rp 28,5 juta—sekitar setengah dari tunjangan DPR RI.

Tidak semua anggota parlemen di Selandia Baru berhak atas tunjangan ini. Mereka yang berdomisili dalam area komuter Wellington—seperti Wellington City, Hutt City, Upper Hutt, dan Porirua—tidak mendapatkan tunjangan, karena dianggap tidak membutuhkan akomodasi tambahan.

Tujuannya? Agar anggota yang bertugas di Wellington selama hari sidang—selama sekitar 90 hari dalam setahun—tidak harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan dan mahal.

Kontroversi: “Mengklaim Untuk Milik Sendiri”

Media The Post mengungkap kasus menarik: ada 23 anggota parlemen yang tinggal di properti mereka sendiri di Wellington namun tetap mengklaim tunjangan tersebut. Praktik ini mencakup penyewa hotel, menyewa apartemen, hingga “menyewakan” rumah sendiri.

Salah satu nama yang paling disorot adalah Tim Costley (MP dari Ōtaki). Meski memiliki tinggal di Waikanae, yang hanya berjarak 58 km dari Wellington, ia mengklaim tunjangan untuk sebuah flat milik sendiri di Wellington. Bagi beberapa pihak, ini terdengar seperti menyewa rumah sendiri dengan dana publik.

Namun, Perdana Menteri Christopher Luxon membela Costley. Ia menegaskan bahwa tuntutan pekerjaan di Parlemen—sidang hingga larut malam dan aktivitas pengumpulan dokumen yang dimulai pagi sekali—membuat perjalanan pulang – pergi dari Waikanae menjadi tidak masuk akal. Bahkan, Luxon menyatakan bahwa kondisi seperti ini bisa sangat “brutal” bagi keseharian Costley.

PM Luxon Jadi Sorotan: Klaim tapi Kembalikan

Belakangan, muncul pula sorotan terhadap Luxon sendiri. Ia sempat mengambil tunjangan sebesar NZD 52.000 per tahun untuk tinggal di apartemen miliknya—yang bebas utang—meskipun tersedia Premier House, kediaman resmi PM di Wellington. Setelah mendapat kritik tajam, Luxon akhirnya menarik kebijakan tersebut dan mengembalikan tunjangan penuh.

Pro & Kontra: Wajar atau Tidak?

Secara aturan, tunjangan perumahan memang disiapkan untuk biaya hidup tambahan selama bertugas di ibu kota. Bagi anggota yang memang tidak berdomisili dekat, misalnya dari Waikanae atau wilayah lebih jauh, ini adalah kompensasi yang wajar.

Tapi kritik terus datang. Political commentator Bryce Edwards mengusulkan alternatif: membangun akomodasi milik pemerintah (seperti “hotel negara”) untuk menampung anggota parlemen selama sidang, alih-alih membiayai properti pribadi—yang dalam jangka panjang bisa menghasilkan keuntungan modal.

“Non Wellington-resident MPs get an accommodation allowance up to $36,400 … Some rent/stay in hotels, some … the allowance enables the purchase, and the MP gets the capital gains.”
“I would halve it if it is going toward a property that they or their spouse or family trust

Bandingkan: DPR RI vs Parlemen Selandia Baru

ParameterDPR RI (2024–2029)Parlemen Selandia Baru
Tunjangan per bulan (rumah)Rp 50 jutaSekitar Rp 28,5 juta
DasarBelum ada debat publik luasBaru ramai saat kasus disorot media
Transparansi & KritikTinggi, medsos hebohAtas dasar kasus Costley & PM Luxon
Alternatif solusiBelum ada wacanaUsulan akomodasi pemerintah (“state-run hotel”)

Kesimpulan

Perbandingan ini membuka dua hal penting:

  1. Beda besar jumlah tidak selalu mencerminkan fairness. Meski DPR RI menerima tunjangan lebih tinggi, sistem di Selandia Baru—dengan syarat ketat dan semangat kesetaraan—juga tidak luput dari kontroversi.
  2. Prosedur dan persepsi publik sangat menentukan legitimasi kebijakan. Di Selandia Baru, kasus-kasus Costley hingga Luxon jadi titik tekan untuk mengkaji ulang bagaimana tunjangan publik seharusnya digunakan—apakah lebih baik dalam bentuk properti milik pemerintah atau tetap berbasis uang tunai.